Perkembangan Ekonomi Asia 2016 dan Prospek Perekonomian Asia 2017

Asia memainkan peran penting dalam kancah perekonomian global. Benua yang didiami oleh 48 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa/PBB (the United Nations) dan enam negara non-PBB ini selain memiliki jumlah populasi penduduk yang mencapai lebih dari 60% total populasi dunia, atau sekitar 4.4 milliar jiwa, juga menjadi pasar potensial bagi perdagangan internasional, baik antar negara dalam kawasan maupun dengan negara-negara di kawasan lain, seperti Eropa dan Amerika. Artikel ini akan membahas tentang kondisi perekonomian Asia pada 2016 dan prospek perekonomian Asia pada 2017 mendatang.

Perkembangan Ekonomi Asia 2016 dan Prospek Perekonomian Asia 2017
Dari sisi demografi, setidaknya terdapat empat negara di Asia yang memiliki populasi penduduk terbesar di dunia, yakni China, India, Indonesia, dan Jepang. Selain itu, dari sisi kekuatan ekonomi, China, Jepang, dan Singapura merupakan pusat kekuatan perekonomian dunia.

Sementara India, Rusia, Korea Selatan, Uni Emirat Arab, serta Indonesia dan negara-negara ASEAN, merupakan pasar potensial yang terus berkembang dan bersaing dikancah perekonomian global.



Adapun pertumbuhan ekonomi Asia diproyeksikan berada di angka 5.7% di 2016 dan 2017, turun dari tahun sebelumnya yang berada dikisaran 5.9% (Asian Development Bank. Asian Development Outlook 2016: Asia’s Potential Growth, 2016).

Sementara dalam laporannya, Bank Dunia (the World Bank) mencatat terjadinya pelemahan pertumbuhan ekonomi global sepanjang 2016, dari yang semula diproyeksikan berada pada kisaran 2.9% dalam laporan awal tahun, menjadi 2.4% pada laporan tengah tahun (World Bank. Global Economic Prospects: Divergences and Risks, June 2016).

Lebih lanjut, hampir semua wilayah di Asia pada 2016 mengalami perlambatan ekonomi. Hal ini terjadi terutama sebagai akibat dari lesu’nya perekonomian global. Dalam kurun waktu sejak 2014 hingga saat ini, perekonomian global relatif berada dalam fase yang tidak stabil.

Berbagai isu internasional, baik yang berkaitan langsung dengan ekonomi dan perdagangan maupun persoalan diluar bidang ekonomi, membuat laju perekonomian banyak negara di dunia melambat atau bahkan memasuki periode krisis.

Adapun permasalahan yang menjadi pemicu dinamika perekonomian pada periode 2014-2016 antara lain sebagai berikut:
  • Dihentikannya kebijakan Quantitative Easing (QE) oleh Bank Sentral Amerika Serikat (the Federal Reserve), sehingga mengakibatkan melonjaknya nilai tukar mata uang US$.
  • Kebijakan yang diambil oleh otoritas China dengan men’devaluasi mata uang Yuan. (Sebagai catatan: kebijakan-kebijakan moneter yang dilakukan oleh negara-negara raksasa ekonomi dunia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pada saat itu, biasa disebut dengan istilah ‘currency war’).
  • Isu politik seputar aneksasi Rusia atas Crimea yang memanaskan hubungan multilateral antara Amerika Serikat dan Uni Eropa disatu sisi, dengan Rusia disisi lain.
  • Pasokan minyak mentah dunia yang berlimpah, sehingga menjungkalkan harga minyak mentah di pasar internasional. Hal ini berdampak luas terutama terhadap perekonomian negara-negara produsen minyak mentah dunia, diantaranya Venezuela, Arab Saudi, dan Rusia.
  • Konflik politik dan ideologi yang terus berkecamuk di kawasan Timur Tengah (Middle-East Asian), seperti yang terjadi di Suriah (Syria), Lebanon, dan Irak. Konflik-konflik tersebut secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi perekonomian, perdagangan, dan investasi.
  • Keluarnya Inggris dari blok kerjasama Uni Eropa (the European Union) atau yang dikenal dengan istilah ‘Brexit’. Pertengahan Juni 2016 ditandai dengan kemenangan masyarakat Inggris yang memilih opsi Brexit dalam referendum untuk menentukan apakah Inggris masih akan berada di blok Uni Eropa atau memilih untuk keluar dari blok kerjasama tersebut. Peristiwa ini membawa pengaruh besar pada perekonomian Uni Eropa yang menganut sistem pasar tunggal.
  • Terpilihnya Donald J. Trump sebagai presiden hasil pemilihan umum rakyat Amerika Serikat di bulan Nopember 2016. Kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil oleh pemerintah baru Amerika Serikat sudah pasti akan menentukan laju perekonomian dunia, tak terkecuali di wilayah Asia.

Jika dilihat dari situasi domestik negara-negara di kawasan Asia, maka perekonomian negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di wilayah Asia Timur, yakni China pada 2016 ditandai dengan stagnasi ekonomi. Menurut data the Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), pertumbuhan ekonomi China akan mengalami penurunan di 2016, yakni dikisaran 6.5%, turun dari tahun sebelumnya yang mencatatkan angka 6.8%.

Sementara Jepang, yang diproyeksikan lebih baik di 2016 dengan pertumbuhan sebesar 0.7% dibandingkan dengan 0.5% pada 2015, masih menghadapi problem domestik, ditandai dengan menurunnya tingkat konsumsi dalam negeri serta instabilitas pasar tenaga kerja (labor market).

Kemudian, negara-negara di kawasan Asia Tengah, seperti Kazakhstan dan Azerbaijan akan mengalami kontraksi ekonomi, dengan rata-rata pertumbuhan dibawah 2%. Lalu India juga mengalami penurunan signifikan, terutama dalam ekspor barang dan jasa. Di wilayah Asia Selatan, hanya India, Bangladesh, dan Bhutan yang diproyeksikan mencapai pertumbuhan ekonomi diatas 6%.

Disisi lain, di kawasan Asia Tenggara, Indonesia dan Phillipina masih menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil pada 2016, demikian juga dengan Vietnam dan Thailand. Namun tidak demikian dengan Malaysia, yang masih terdampak atas anjloknya harga minyak dunia.

Apalagi menjelang akhir 2016, Malaysia diterpa isu politik yang tidak kondusif, akibat maraknya demonstrasi sebagian masyarakat karena ketidakpuasan atas tata kelola pemerintahan dan maraknya tindak kejahatan korupsi.

Disamping itu OECD memproyeksikan ekonomi ASEAN, China dan India akan mengalami penyesuaian dengan laju yang bervariasi. Negara-negara ASEAN diperkirakan mengalami pertumbuhan hingga 5.2% pada periode 2016-2020, meningkat dari 4.6% di 2015. Pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi terjadi di Philipina dan Vietnam, yang didukung dengan banyaknya investasi melalui skema Foreign Direct Investment (FDI) serta meningkatnya konsumsi dalam negeri.

Perluasan kerjasama ASEAN seperti yang diwujudkan dalam ASEAN Plus Three (APT) dan ASEAN Plus Six diharapkan mampu memacu sektor perdagangan lintas wilayah pada tahun-tahun mendatang. Terlebih dengan adanya kesepakatan pasar tunggal ASEAN (ASEAN Economic Community atau Masyarakat Ekonomi ASEAN dan ASEAN Free Trade Area).

Walaupun begitu, mengingat secara umum kondisi ekonomi global belum stabil, kerjasama ini diperkirakan belum banyak memberi dampak positif dari sisi pemerataan pertumbuhan ekonomi kawasan.

Berikut merupakan kebijakan-kebijakan yang penting untuk dicermati dalam rangka pengembangan perekonomian Asia, yakni: tarif perdagangan antar wilayah, perdagangan di sektor jasa, investasi dan liberalisasi pasar modal, perlindungan konsumen dan kompetisi yang sehat (fair competition), perlindungan hak atas kekayaan intelektual, konektivitas dan infrastruktur, pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah/UMKM (Small Medium Enterprises/SMEs), serta pengembangan sektor pertanian, kehutanan, dan pariwisata (Organisation for Economic Cooperation and Development. Economic Outlook for Southeast Asia, China and India 2016: Enhancing Regional Ties, 2016).

Disamping itu terdapat beberapa faktor yang diperkirakan masih akan mempengaruhi laju perekonomian Asia pada 2017, yakni:
  • Pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan stagnan pada 2016 dan 2017 di angka 5.7%, dipicu oleh faktor domestik Asia yang ditandai dengan stagnasi ekonomi, situasi sosial-ekonomi Amerika Serikat setelah terpilihnya presiden baru, dan pergerakan perekonomian Uni Eropa pasca Brexit.
  • Harga minyak mentah dunia yang diperkirakan masih akan mengalami penurunan. Hal ini membawa efek pada menurunnya harga komoditas lain, yang sebenarnya bisa dipandang dari sisi menguntungkan maupun merugikan bagi perekonomian kawasan dan global.
  • Kebijakan ekonomi Amerika Serikat yang diperkirakan akan lebih melindungi produksi dalam negeri (proteksionisme), apabila sesuai dengan kebijakan yang dijanjikan oleh presiden terpilih. Hal ini akan berdampak negatif pada pasar ekspor negara lain ke Amerka Serikat, sebab jika kebijakan tersebut benar-benar direalisasikan, maka akan menambah tarif produk impor hingga mencapai 45%.
  • Jika Bank Sentral Amerika (the Fed) merealisasikan kenaikan tingkat suku bunga acuan pada akhir tahun 2016 atau awal 2017, hal ini akan berdampak signifikan terhadap perekonomian dunia, sebab nilai tukar mata uang US$ dipastikan akan semakin menguat terhadap mata uang lain. Dampaknya, nilai tukar mata uang negara-negara Asia akan berpotensi jatuh lebih dalam.

Sebagai penutup, catatan-catatan diatas sedikit banyak bisa memberikan gambaran kondisi perekonomian negara-negara Asia sepanjang 2016 dan proyeksi perekonomian Asia pada 2017. **



ARTIKEL TERKAIT :
Mencermati Situasi Perekonomian Dunia di 2018
Perkembangan Perekonomian Global 2017: bertumbuh dalam ketidakpastian
Melihat Situasi Perekonomian Global 2016
Memahami Konsep Globalisasi

1 komentar:

  1. semoga Indonesia menjadi yang terdepan di Asia untuk kedepannya dalam hal ekonomi.
    mari belajar ekonomi dan pasar modal di :
    Galeri Investasi | Edukasi dan Sosialisasi Pasar Modal

    BalasHapus