Upaya China Mengatasi Laju Pertumbuhan Penduduk

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan program keluarga berencana, pada kesempatan kali ini kita akan belajar dari penerapan kebijakan pengendalian populasi di China. Berdasarkan data yang diperoleh dari the United Nations Statistic Division, sampai dengan 2015 perkiraan jumlah penduduk China adalah sebesar 1.39 miliar jiwa. Jumlah ini setara dengan 37% total penduduk Asia (unstat.un.org).

Upaya China Mengatasi Laju Pertumbuhan Penduduk
Dengan luas wilayah sekitar 9.59 juta km2, artinya tingkat kepadatan penduduk adalah sebesar 145.2/km2. Hal ini menandakan bahwa ada sekitar 145 orang yang mendiami setiap wilayah seluas 1 km2.

Melihat begitu padatnya tingkat densitas tersebut, pemerintah China mengupayakan berbagai langkah dan kebijakan dalam mengendalikan laju pertumbuhan penduduk.



Salah satu kebijakan yang populer sekaligus mengundang kontroversi dalam menekan angka kelahiran adalah kebijakan satu anak dalam satu keluarga (one-child policy).

Disebut kontroversi karena menurut beberapa literatur, hanya China satu-satunya negara di dunia dimana pemerintah ikut mengatur secara detil mengenai masalah perkawinan, termasuk usia pernikahan, waktu kehamilan, metode pengendalian kehamilan, jarak kelahiran setiap bayi, serta jumlah kelahiran secara total. Walaupun demikian, banyak juga yang menyatakan bahwa kebijakan ini sangat efektif dalam menekan laju pertumbuhan penduduk (Banister, and Harbaugh. China’s Family Planning Program: Inputs And Outcomes, 1994).

Kebijakan one-child policy ini diperkenalkan sejak akhir 1970’an dan berlangsung selama beberapa dasawarsa. Secara mendasar, aturan ini menyatakan bahwa satu keluarga hanya boleh memiliki satu anak laki-laki, atau maksimal dua anak apabila anak pertama yang dilahirkan berjenis kelamin perempuan. Selain itu, pemerintah China juga menyerukan adanya penundaan pernikahan sampai dengan usia tertentu, untuk menjamin terwujudnya program ini.

Perlu digarisbawahi bahwa program one-child policy adalah program yang bersifat mengikat (mandatory), sehingga ada sanksi tegas bagi mereka yang melakukan pelanggaran terhadap kebijakan ini. Pada praktiknya, keluarga yang melakukan pelanggaran akan diberi sanksi dengan melakukan aborsi atau menggugurkan kandungan berdasarkan ketentuan yang telah diatur oleh negara. Kemudian untuk memastikan tidak terjadi kehamilan, maka perempuan yang telah memiliki satu anak laki-laki diharuskan menjalani sterilisasi.

Aturan-aturan itulah yang kemudian menimbulkan penentangan, terutama oleh pegiat hak asasi manusia, sebab kewajiban yang tertuang dalam kebijakan one-child policy dianggap berlawanan dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Selain itu, pelaksanaan pengguguran kandungan juga dianggap sebagai pembunuhan yang dilegalkan oleh negara.

Meskipun demikian, menurut survei yang dilakukan oleh lembaga pemerintah setempat, kebijakan one-child policy ini didukung oleh lebih dari 70% rakyat China, dan rakyat China sendiri mengaku mengalami perbaikan taraf hidup berkat kebijakan ini. Lebih jauh, pemerintah China mengklaim bahwa upaya ini telah berhasil mengurangi angka kelahiran hingga 400 juta jiwa sejak diterapkan.

Dalam perkembangannya, seiring dengan perubahan sistem politik dalam negeri, pemerintah China lantas menyesuaikan diri melalui kebijakan-kebijakan dengan pendekatan yang lebih manusiawi. Mereka mulai mengubah peraturan-peraturan yang semula memaksa, menjadi peraturan yang lebih mengedepankan komunikasi dan menempatkan masyarakat sebagai partner dalam mencapai tujuan pembangunan nasional.

Oleh karena itu, pemerintah China melakukan pelonggaran terhadap program one-child policy. Salah satu caranya adalah dengan memberikan kesempatan kepada keluarga untuk memiliki dua anak dalam satu keluarga (two-child policy). Kebijakan ini juga sekaligus bertujuan untuk menyeimbangkan antara populasi yang ada, yakni antara kelompok populasi usia lanjut dengan populasi anak baru lahir. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar tidak terjadi penurunan populasi dalam jangka panjang.

Bertolak dari hal-hal tersebut diatas, maka pada era 1990’an diterapkanlah program keluarga berencana yang lebih berdasarkan pada kerelaan masyarakat (voluntary). Efek positif dari kebijakan baru ini adalah menimbulkan kesadaran setiap keluarga untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan, sekaligus meningkatkan kesejahteraan keluarga.

Terlepas dari berbagai kontroversi, berikut sisi positif dari kebijakan yang dilakukan pemerintah China:
  • adanya komitmen politik yang sangat kuat dari pemerintah.
  • ketersediaan perangkat-perangkat kedokteran secara lengkap dan modern.
  • adanya teknologi pengendalian kehamilan yang bervariasi.
  • teknik pengendalian kehamilan disediakan secara gratis oleh pemerintah.
  • dorongan institusi sosial yang mendukung kebijakan ini.
  • adanya insentif dan sanksi tegas yang diberlakukan kepada masyarakat.

Sebagai penutup, kebijakan pemerintah China dalam mengendalikan jumlah penduduk terbukti mampu mengurangi laju populasi. Kebijakan ini juga turut memberikan andil pada pembangunan perekonomian China. Namun, pendekatan manusiawi (tanpa melanggar hak asasi manusia) juga menjadi elemen penting dalam pembangunan itu sendiri, sehingga kebijakan yang diambil harus tetap dalam koridor penghormatan kepada hak asasi manusia. **

UPDATE ARTIKEL (Selasa, 19 September 2017):

Dalam perkembangannya, saat ini China justru berhadapan dengan masalah populasi yang kian menua (aging population). Dampak dari kebijakan one-child policy yang sudah tidak lagi diberlakukan pada akhir 2015, ternyata menjadikan sebagian besar keluarga di China berkeinginan untuk memiliki hanya satu anak dengan berbagai pertimbangan.

Berikut ini data terkini pertumbuhan populasi penduduk China yang dikutip dari beberapa sumber.

Mengutip berita dari situs Komisi Kesehatan Nasional dan Keluarga Berencana China (National Health and Family Planning Commission of the PRC), angka kelahiran di China tercatat sebesar 17.86 juta jiwa pada 2016, atau meningkat 7.9% (setara 1.31 juta jiwa) apabila dibandingkan dengan angka kelahiran di 2015. Angka ini merupakan capaian tertinggi dari data tahunan sejak 2000. Penerapan kebijakan dua anak (two-child policy atau second-child policy) yang dilaksanakan pada awal 2016 diyakini berperan penting dalam pertumbuhan angka kelahiran tersebut.

Lebih lanjut, Komisi memperkirakan rata-rata kelahiran baru sebanyak 17-20 juta jiwa per tahun sampai dengan 2020. Hal tersebut akan menambah total populasi penduduk China di 2020 menjadi 1.42 miliar. Peningkatan angka kelahiran juga diyakini mampu menambah jumlah penduduk usia produktif hingga 30 juta pada 2050, sekaligus mengurangi problem penuaan populasi sebanyak 2%.

Selain itu, komisi juga mengungkap adanya sekitar 75% total keluarga yang menolak untuk memiliki lebih dari satu anak karena beberapa alasan, terutama hambatan kemampuan ekonomi, jenjang karir orangtua, serta kurang tersedianya tenaga pengasuh anak (en.nhfpc.gov.cn. Second-child policy increases births by 7.9%, updated 23 January 2017).

Namun demikian, terdapat kekhawatiran bahwa pertumbuhan angka kelahiran di China tidak akan mampu mengimbangi bertambahnya kelompok penduduk usia diatas 60 tahun.

Diperkirakan hingga 2030, jumlah penduduk China yang berusia diatas 60 tahun akan mencapai lebih dari 500 juta jiwa, atau setara 25% total populasi penduduk China pada 2016. Sementara populasi kelompok usia produktif 15-59 tahun akan mengalami penurunan hingga 80 juta jiwa (www.theguardian.com. China’s birth rate rises but falls short of government estimates, 23 January 2017).

Penelitian lain menyebutkan bahwa jumlah populasi penduduk China pada 2017 mencapai 1.386 miliar jiwa, lebih banyak daripada penduduk India yang tercatat sebesar 1.353 miliar jiwa. Akan tetapi, studi memproyeksikan bahwa pada 2050, India akan menggeser China dalam hal jumlah populasi penduduk, dimana India akan memiliki lebih dari 1.676 miliar penduduk, sedangkan China justru mengalami penurunan jumlah populasi menjadi 1.343 miliar jiwa (Population Reference Bureau. 2017 World Population Data Sheet: with a special focus on youth, August 2017).

Penelitian diatas senada dengan studi yang dilakukan Wan, Goodkind, dan Kowal. Mereka mencatat bahwa hingga 2015, China masih memimpin sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak, yakni 1.4 miliar; diatas India yang dihuni oleh 1.3 miliar jiwa. Namun, penelitian memprediksikan bahwa mulai 2025, jumlah penduduk India akan lebih banyak daripada penduduk China.

Salah satu faktor penyebab terjadinya hal tersebut adalah penerapan program perencanaan kelahiran anak (keluarga berencana) dimasing-masing negara. Disatu sisi, India melakukan program keluarga berencana secara efektif, sehingga mampu menjaga pertumbuhan penduduk tetap positif dan terkendali. Sementara disisi lain, China mengalami penurunan angka kelahiran secara signifikan.

Disebutkan juga bahwa China sedang dan masih akan mengalami problem penuaan populasi, dimana terdapat peningkatan jumlah penduduk kelompok usia diatas 65 tahun; jika pada 2015, jumlah penduduk berusia diatas 65 tahun mencapai 154 juta jiwa (atau sekitar 10.1% dari total penduduk saat itu), maka pada 2050 diperkirakan akan melejit hingga 238.8 juta jiwa, atau mencapai lebih dari 17.2% (Wan He, Daniel Goodkind, and Paul Kowal. An Aging World: 2015, International Population Reports, U.S. Census Bureau, March 2016).

Hingga kini, pemerintah China masih terus melakukan upaya-upaya untuk mengatasi masalah pertumbuhan penduduk yang semakin menua; dan kita akan terus mencermati perkembangannya. ***



ARTIKEL TERKAIT :
Memahami Teori Pertumbuhan Populasi Thomas Robert Malthus
Pertumbuhan Populasi Penduduk Dunia beserta Permasalahannya
Belajar dari Penurunan Populasi di Jepang
Memahami Pengertian Bonus Demografi (Demographic Bonus)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar