Topik yang akan kita bahas kali ini sangat menarik sekaligus rumit. Kita akan berkenalan dengan satu konsep dalam ilmu ekonomi yang disebut shadow economy. Pada beberapa literatur, istilah shadow economy sering diganti dengan istilah underground economy atau black economy.
Studi mengenai shadow economy sampai saat ini masih menjadi tantangan tersendiri, antara lain disebabkan belum adanya definisi yang akurat untuk mendefinisikan shadow economy, sulitnya menghitung skala kegiatan yang termasuk didalamnya, dan bagaimana mengukur potensi kerugian negara akibat aktivitas tersebut. Hal ini memang wajar, sebab kata ‘shadow’ sendiri sudah menggambarkan sesuatu yang tersembunyi atau tidak transparan.
Penulis menggunakan referensi dari Schneider dan Williams (The Shadow Economy, 2013), yang merumuskan shadow economy sebagai kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang maupun jasa, baik legal maupun ilegal, yang nilainya tidak tercermin dalam penghitungan Gross Domestic Product (GDP). Adapun kegiatan tersebut dilakukan dengan unsur kesengajaan dan memiliki motif tertentu.
Adapun tujuan dari kegiatan shadow economy itu antara lain:
Ada beberapa alasan yang menjadi penyebab munculnya shadow economy, antara lain karena ketatnya regulasi pemerintah, misalnya dalam hal perpajakan, bisnis dan investasi, serta regulasi lainnya; yang secara potensial bisa mengurangi manfaat/keuntungan yang diperoleh individu atau entitas bisnis (perusahaan), sehingga menimbulkan upaya dari sebagian pihak untuk melanggar aturan tersebut.
Alasan lainnya adalah adanya aparatur pemerintahan yang tidak memiliki integritas dan justru bekerja sama dengan individu atau entitas bisnis dalam melanggar peraturan. Penyimpangan seperti ini dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas sehingga bisa mempengaruhi suatu keputusan, dengan mendapatkan kompensasi (keuntungan pribadi); sementara pihak terkait (individu atau entitas bisnis) juga memperoleh manfaat/keuntungan dari tindakan tersebut.
Terdapat beberapa contoh kegiatan yang menggambarkan praktik-praktik shadow economy, antara lain:
Sebenarnya masih banyak lagi kasus dalam shadow economy, baik yang sudah teridentifikasi maupun yang masih sulit ditelusuri. Penting untuk diketahui bahwa hampir semua negara menghadapi masalah shadow economy, terutama negara-negara dengan penegakan hukum yang lemah.
Secara umum, penelitian-penelitian menyebutkan bahwa skala kegiatan shadow economy berada di kisaran 12-15% dari total GDP di negara maju, sementara untuk negara berkembang mencapai 30-40%. Dari perkiraan itulah bisa dihitung berapa potensi kerugian negara yang diakibatkan oleh aktivitas shadow economy.
Namun demikian, dalam kenyataannya bisa saja ditemukan angka yang lebih besar daripada angka perkiraan diatas, sekali lagi mengingat bahwa kegiatan ini mengandung makna terselubung dan tidak transparan; seperti bahasa kiasan berbunyi: “Hanya karena ia tidak kelihatan, bukan berarti ia tidak ada.” **
UPDATE ARTIKEL (Sabtu, 23 Desember 2017):
Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat penelitian yang mengukur sejauh mana tingkat kejadian shadow economy di berbagai negara melalui seperangkat alat analisis. Berikut kita pelajari bagaimana tindak kejahatan ekonomi tersebut berkembang dari waktu ke waktu.
Menurut penelitian the Institute for Applied Economic Research at the University of Tubingen (IAW), negara-negara di kawasan Eropa bagian selatan mengalami peningkatan dalam angka kejadian shadow economy. Adapun nilai kejahatan dari aktivitas shadow economy diukur melalui perbandingan dengan total GDP masing-masing negara.
Dari hasil penelitian bisa dilihat bahwa shadow economy banyak terjadi di negara-negara Benua Biru, diantaranya Yunani (21.5% dari GDP), Italia (19.8%), Spanyol (17.2%), Norwegia (12.2%), dan Jerman (10.4%) (dikutip dari www.forbes.com, The Countries With The Largest Shadow Economies, Feb 9, 2017).
Sementara dalam salah satu studinya, Medina dan Schneider meneliti aktivitas shadow economy yang terdapat di 158 negara dalam kurun waktu 1991-2015.
Studi tersebut menggunakan dua pendekatan, pertama dengan melakukan survei terhadap ketaatan pelaporan pajak, audit pajak, serta audit kepatuhan lainnya. Adapun pendekatan kedua dilakukan melalui penelitian terhadap indikator ekonomi nasional, antara lain berupa selisih antara agegat pengeluaran (expenditure) dengan penerimaan (income), dan selisih antara jumlah tenaga kerja yang terdaftar pada institusi resmi dengan jumlah aktual di lapangan.
Dari penelitian didapatkan temuan yang menyatakan adanya penurunan tingkat kejadian shadow economy secara agregat, yakni dari 34.82% pada 1991 menjadi 30.66% pada 2015 (angka tersebut merupakan persentase perbandingan dengan total GDP Global).
Namun demikian, meski terjadi penurunan persentase aktivitas shadow economy secara global, hal tersebut tidak terjadi secara merata di setiap negara. Tercatat angka shadow economy paling kecil berada di wilayah Asia Timur, yakni 16.77%, disusul negara-negara anggota OECD (the Organisation for Economic Co-operation and Development) sebesar 18.70%.
Sedangkan aktivitas shadow economy tertinggi berada di kawasan Amerika Latin dan Afrika, yang mencatatkan angka diatas 35% (Medina, L, and Friedrich Schneider. Shadow Economies around the World: New Results for 158 Countries over 1995-2015, 2017).
Lebih lanjut, dalam studinya Elgin dan Oztunali memprediksi bahwa kejadian shadow economy secara global akan menurun dari 23% pada 2011 menjadi 21% di 2025. Akan tetapi serupa dengan penelitian diatas, penurunan ini juga tidak merata di setiap negara.
Dalam studi tersebut, mereka menggunakan beberapa variabel, yakni variabel institusional seperti stabilitas politik, hubungan antar kelompok masyarakat, hukum dan perundang-undangan, kualitas demokrasi, kualitas birokrasi, serta tindak pencegahan korupsi.
Berikutnya adalah variabel ekonomi, diantaranya besaran konsumsi rata-rata terhadap GDP, nilai investasi, GDP per kapita, pengeluaran pemerintah, pertumbuhan GDP, dan pengguna internet disetiap 1000 orang.
Variabel ketiga adalah demografi, meliputi tingkat pertumbuhan populasi dan tingkat usia muda dalam populasi.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa di negara-negara dengan tingkat perekonomian yang masih berkembang, aktivitas shadow economy justru diperkirakan meningkat. Terdapat beberapa faktor yang memegang peran penting terhadap peningkatan kejadian shadow economy. Faktor pertama adalah sejauh mana kebijakan pemerintah mampu meminimalisir aktivitas shadow economy.
Faktor lain adalah teknologi; dalam hal ini perkembangan teknologi ibarat pisau bermata dua, di satu sisi ia bisa menjadi sarana pengawasan dan pengendalian tindak kejahatan shadow economy; namun disisi lain, ia pun bisa dimanfaatkan untuk melakukan aktivitas shadow economy (Elgin, C and Oztunali. Shadow Economies Around the World: Model Based Estimates, Working Paper 2012/05).
Sedangkan menurut laporan Global Financial Integrity, secara total terdapat aktivitas kejahatan trans-nasional yang bernilai sekitar US$ 1.6 - 2.2 triliun setiap tahunnya. Adapun tidak kejahatan tersebut antara lain berupa pembajakan atau pemalsuan barang (counterfeiting) yang mencapai US$ 923 miliar - 1.13 triliun, penyelundupan narkoba dan obat terlarang (US$ 426 - 652 miliar), illegal logging (US$ 52 - 157 miliar), serta illegal fishing (US$ 15.5 - 36.4 miliar) (Global Financial Integrity, Transnational Crime and the Developing World, March 2017).
Demikian perkembangan tindak kejahatan shadow economy yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam penanganan'nya. ***
ARTIKEL TERKAIT :
Memahami Konsep Money Laundering
Menimbang Efektivitas Kebijakan Pengampunan Pajak (Tax Amnesty)
Pengertian Pajak Berganda (Double Taxation) dalam Perdagangan Antar Negara
Memahami Arti Pelanggaran Pajak (Tax Evasion) dan Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)
Studi mengenai shadow economy sampai saat ini masih menjadi tantangan tersendiri, antara lain disebabkan belum adanya definisi yang akurat untuk mendefinisikan shadow economy, sulitnya menghitung skala kegiatan yang termasuk didalamnya, dan bagaimana mengukur potensi kerugian negara akibat aktivitas tersebut. Hal ini memang wajar, sebab kata ‘shadow’ sendiri sudah menggambarkan sesuatu yang tersembunyi atau tidak transparan.
Penulis menggunakan referensi dari Schneider dan Williams (The Shadow Economy, 2013), yang merumuskan shadow economy sebagai kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang maupun jasa, baik legal maupun ilegal, yang nilainya tidak tercermin dalam penghitungan Gross Domestic Product (GDP). Adapun kegiatan tersebut dilakukan dengan unsur kesengajaan dan memiliki motif tertentu.
Adapun tujuan dari kegiatan shadow economy itu antara lain:
- menghindari kewajiban perpajakan, baik pajak penghasilan (pph), pajak pertambahan nilai (ppn), serta pajak-pajak lain.
- menghindari kewajiban non-pajak seperti yang diatur dalam regulasi pemerintah.
- menghindari pemenuhan standar ketenagakerjaan yang legal, meliputi upah kelayakan minimum, jam kerja yang telah ditetapkan, standar keselamatan, dan lain sebagainya.
- menghindari kewajiban administratif dan prosedural, seperti perijinan dan sejenisnya.
Ada beberapa alasan yang menjadi penyebab munculnya shadow economy, antara lain karena ketatnya regulasi pemerintah, misalnya dalam hal perpajakan, bisnis dan investasi, serta regulasi lainnya; yang secara potensial bisa mengurangi manfaat/keuntungan yang diperoleh individu atau entitas bisnis (perusahaan), sehingga menimbulkan upaya dari sebagian pihak untuk melanggar aturan tersebut.
Alasan lainnya adalah adanya aparatur pemerintahan yang tidak memiliki integritas dan justru bekerja sama dengan individu atau entitas bisnis dalam melanggar peraturan. Penyimpangan seperti ini dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas sehingga bisa mempengaruhi suatu keputusan, dengan mendapatkan kompensasi (keuntungan pribadi); sementara pihak terkait (individu atau entitas bisnis) juga memperoleh manfaat/keuntungan dari tindakan tersebut.
Terdapat beberapa contoh kegiatan yang menggambarkan praktik-praktik shadow economy, antara lain:
- memproduksi dan memperjual-belikan produk palsu atau bajakan.
- penambangan ilegal (tidak berijin), baik itu dilakukan oleh individu maupun entitas usaha.
- upaya individu atau entitas bisnis, baik itu secara mandiri maupun bekerjasama dengan aparat berwenang untuk tidak memenuhi kewajiban perpajakan (memanfaatkan grey-area dalam undang-undang untuk menghindari pajak (tax avoidance); atau melakukan kejahatan perpajakan secara sengaja (tax evasion)).
- penyelundupan produk-produk dari luar wilayah pabean tanpa melalui pemeriksaan serta tidak membayar bea masuk seperti yang diatur dalam aturan kepabeanan.
Sebenarnya masih banyak lagi kasus dalam shadow economy, baik yang sudah teridentifikasi maupun yang masih sulit ditelusuri. Penting untuk diketahui bahwa hampir semua negara menghadapi masalah shadow economy, terutama negara-negara dengan penegakan hukum yang lemah.
Secara umum, penelitian-penelitian menyebutkan bahwa skala kegiatan shadow economy berada di kisaran 12-15% dari total GDP di negara maju, sementara untuk negara berkembang mencapai 30-40%. Dari perkiraan itulah bisa dihitung berapa potensi kerugian negara yang diakibatkan oleh aktivitas shadow economy.
Namun demikian, dalam kenyataannya bisa saja ditemukan angka yang lebih besar daripada angka perkiraan diatas, sekali lagi mengingat bahwa kegiatan ini mengandung makna terselubung dan tidak transparan; seperti bahasa kiasan berbunyi: “Hanya karena ia tidak kelihatan, bukan berarti ia tidak ada.” **
UPDATE ARTIKEL (Sabtu, 23 Desember 2017):
Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat penelitian yang mengukur sejauh mana tingkat kejadian shadow economy di berbagai negara melalui seperangkat alat analisis. Berikut kita pelajari bagaimana tindak kejahatan ekonomi tersebut berkembang dari waktu ke waktu.
Menurut penelitian the Institute for Applied Economic Research at the University of Tubingen (IAW), negara-negara di kawasan Eropa bagian selatan mengalami peningkatan dalam angka kejadian shadow economy. Adapun nilai kejahatan dari aktivitas shadow economy diukur melalui perbandingan dengan total GDP masing-masing negara.
Dari hasil penelitian bisa dilihat bahwa shadow economy banyak terjadi di negara-negara Benua Biru, diantaranya Yunani (21.5% dari GDP), Italia (19.8%), Spanyol (17.2%), Norwegia (12.2%), dan Jerman (10.4%) (dikutip dari www.forbes.com, The Countries With The Largest Shadow Economies, Feb 9, 2017).
Sementara dalam salah satu studinya, Medina dan Schneider meneliti aktivitas shadow economy yang terdapat di 158 negara dalam kurun waktu 1991-2015.
Studi tersebut menggunakan dua pendekatan, pertama dengan melakukan survei terhadap ketaatan pelaporan pajak, audit pajak, serta audit kepatuhan lainnya. Adapun pendekatan kedua dilakukan melalui penelitian terhadap indikator ekonomi nasional, antara lain berupa selisih antara agegat pengeluaran (expenditure) dengan penerimaan (income), dan selisih antara jumlah tenaga kerja yang terdaftar pada institusi resmi dengan jumlah aktual di lapangan.
Dari penelitian didapatkan temuan yang menyatakan adanya penurunan tingkat kejadian shadow economy secara agregat, yakni dari 34.82% pada 1991 menjadi 30.66% pada 2015 (angka tersebut merupakan persentase perbandingan dengan total GDP Global).
Namun demikian, meski terjadi penurunan persentase aktivitas shadow economy secara global, hal tersebut tidak terjadi secara merata di setiap negara. Tercatat angka shadow economy paling kecil berada di wilayah Asia Timur, yakni 16.77%, disusul negara-negara anggota OECD (the Organisation for Economic Co-operation and Development) sebesar 18.70%.
Sedangkan aktivitas shadow economy tertinggi berada di kawasan Amerika Latin dan Afrika, yang mencatatkan angka diatas 35% (Medina, L, and Friedrich Schneider. Shadow Economies around the World: New Results for 158 Countries over 1995-2015, 2017).
Lebih lanjut, dalam studinya Elgin dan Oztunali memprediksi bahwa kejadian shadow economy secara global akan menurun dari 23% pada 2011 menjadi 21% di 2025. Akan tetapi serupa dengan penelitian diatas, penurunan ini juga tidak merata di setiap negara.
Dalam studi tersebut, mereka menggunakan beberapa variabel, yakni variabel institusional seperti stabilitas politik, hubungan antar kelompok masyarakat, hukum dan perundang-undangan, kualitas demokrasi, kualitas birokrasi, serta tindak pencegahan korupsi.
Berikutnya adalah variabel ekonomi, diantaranya besaran konsumsi rata-rata terhadap GDP, nilai investasi, GDP per kapita, pengeluaran pemerintah, pertumbuhan GDP, dan pengguna internet disetiap 1000 orang.
Variabel ketiga adalah demografi, meliputi tingkat pertumbuhan populasi dan tingkat usia muda dalam populasi.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa di negara-negara dengan tingkat perekonomian yang masih berkembang, aktivitas shadow economy justru diperkirakan meningkat. Terdapat beberapa faktor yang memegang peran penting terhadap peningkatan kejadian shadow economy. Faktor pertama adalah sejauh mana kebijakan pemerintah mampu meminimalisir aktivitas shadow economy.
Faktor lain adalah teknologi; dalam hal ini perkembangan teknologi ibarat pisau bermata dua, di satu sisi ia bisa menjadi sarana pengawasan dan pengendalian tindak kejahatan shadow economy; namun disisi lain, ia pun bisa dimanfaatkan untuk melakukan aktivitas shadow economy (Elgin, C and Oztunali. Shadow Economies Around the World: Model Based Estimates, Working Paper 2012/05).
Sedangkan menurut laporan Global Financial Integrity, secara total terdapat aktivitas kejahatan trans-nasional yang bernilai sekitar US$ 1.6 - 2.2 triliun setiap tahunnya. Adapun tidak kejahatan tersebut antara lain berupa pembajakan atau pemalsuan barang (counterfeiting) yang mencapai US$ 923 miliar - 1.13 triliun, penyelundupan narkoba dan obat terlarang (US$ 426 - 652 miliar), illegal logging (US$ 52 - 157 miliar), serta illegal fishing (US$ 15.5 - 36.4 miliar) (Global Financial Integrity, Transnational Crime and the Developing World, March 2017).
Demikian perkembangan tindak kejahatan shadow economy yang perlu mendapatkan perhatian serius dalam penanganan'nya. ***
ARTIKEL TERKAIT :
Memahami Konsep Money Laundering
Menimbang Efektivitas Kebijakan Pengampunan Pajak (Tax Amnesty)
Pengertian Pajak Berganda (Double Taxation) dalam Perdagangan Antar Negara
Memahami Arti Pelanggaran Pajak (Tax Evasion) dan Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)
awal kali aku mendengar economoy shadow ini dari novel. ternyata benar-benar ada dan bukan fiksi semata ya.
BalasHapus